Senin, 05 Desember 2016

Bagaimana Perkembangan Kognitif Remaja (khususnya Remaja Sekolah Menengah Atas)?


Masa Sekolah Menengah Atas termasuk ke dalam masa Remaja. Perkembangan kognitif adalah perkembangan kemampuan (kapasitas) individu utnuk memanipulasi dan mengingat informasi. Untuk membahas perkembangan kognitif (berpikir) remaja, pada paparan berikut dikemukakan beberapa pandangan dari Piaget, Vigotsky, dan para ahli psikologi pemrosesan informasi (information-processing theory).
Menurut Jean Piaget, perkembangan kognitif remaja berada pada tahap “Formal operatio stage”, yaitu tahap ke empat atau terakhir dari tahapan perkembangan kognitif. Tahapan berpikir formal ini terdiri atas dua subperiode (Broughton dalam John W. Santrock , 2010: 97) (dalam Yusuf L.N. & Sugandhi, 2012: 81), yaitu:
a.    Early formal operational thougt, yaitu kemampuan remaja untuk berpikir dengan cara-cara hipotetik yang menghasilkan pikiran-pikiran sukarela (bebas) tentang berbagai kemungkinan tidak terbatas. Dalam periode awal ini, remaja mempersepsi dunia sangat bersifat subjektif dan idealistik.
b.    Late formal operational thought, yaitu remaja mulai menguji pikirannya dengan pengalamannya, dan mengembalikan keseimbangan intelektualnya. Melalui akomodasi (penyesuaian terhadap informasi/ hal baru), remaja mulai dapat menyesuaikan terhadap bencana atau kondisi pancaroba yang telah dialaminya.
Pada awalnya tulisannya, Piaget mengemukakan bahwa berpiikir operasi formal itu tercapai secara sempurna pada awal remaja, sekitar usia 11-15 tahun. Namun kemudia, dia merevisi pendapatnya itu, yaitu bahwa kemampuan berpikir formal itu tercapai secara sempurna pada 15-20 tahun.
Untuk memahami perkembangan kognitif remaja ini dapat juga dikemukakan pendapat Vigotsky (John W. Santrock, 2010: 101) (dalam dalam Yusuf L.N. & Sugandhi, 2012: 83). Konsep utama ia adalah “Zone of proximal development (ZPD)”, yaitu daerah tugas-tugas yang sangat sulit untuk diatasi oleh individu secara sendirian, tetapi baru dapat dicapai apabila mendapat bimbingan atau bantuan dari orang dewasa atau teman sebaya yang lebih terampil. ZPD ini meliputi dua sisi, yaitu batas bawah dan batas atas. Batas bawah adalah tahap pemecahan masalah yag dapat dilakukan oleh remaja sendiri tanpa bantuan orang lain. Sementara batas atas adalah tahap berpikir remaja dalam memecahkan masalah dengan bantuan orang lain (guru atau instruktur). Vigotsky meyakini bahwa perkembangan kognitif, dalam hal ZPD sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial.
Meskipun Piaget dan Vigotsky beraliran yang sama, yaitu sebagai contuctivist, namun Vigotsky lebih terkenal dengan “a social contructivist approach”, yang menekankan kepada “social context of learning” dan pemerolehan pengetahuan adalah melalui interaksi sosial. Menurut Piaget, akhir perkembangan kognitif adalah operasi formal, sedangkan menurut Vigotsky bisa berbeda bagi setiap remaja, tergantung kepada keterampialn yang paling penting dalam budaya tertentu. Implikasi kedua pendekatan atau teori tersebut terhadap pendidikan atau mengajar, masing-masing adalah (a) menurut teori Piaget, guru perlu mendukung siswa untuk mengekplorasi lingkungan dan menemukan pengetahuan; dan (b) menurut teori Vigotsky, siswa memerlukan banyak kesempatan untuk belajar bersama guru dan teman sebaya yang lebih terampil.
Pandangan berikutnya adalah dari para ahli psikologi “information-processing”. Sebagai suatu teori, information processing merupakan teori kognitif yang mencoba “to look inside” pikiran individu (siswa) dalam upaya mengeksplorasi apa yang terjadi ketika berpikir dan belajar berlangsung, dan memfokuskan kepada cara-cara yang spesifik untuk berpikir tentang informasi yang diterimanya. Para ahli pemrosesan informasi memandang otak (pikiran) manusia merupakan sistem kognitif yang kompleks, yang dapat dianalogikan dengan komputer digital. Seperti halnya komputer, sistem information processing manusia juga memiliki beberapa komponen, yaitu sensory receptors, working (short term) memory, dan long-term memory.
Terkait dengan pemrosesan informasi tentang kognitif remaja adalah menyangkut bagaimana remaja memperoleh, menyimpan, dan menggunakan informasi untuk berpikir dan memecahkan masalah. Dalam pemrosesan informasi ini ada dimensi pemting yang perlu diperhatikan, yaitu atensi (attention), memori (memory), dan pemungsian eksekutif (executive functioning).
a.    Atensi (attention), yaitu konsentrasi atau pemusatan perhatian. Ada empat cara atensi:
1)   Atensi selektif, yaitu pemusatan perhatian terhadap aspek khusus yang relevan, dan mengabaikan aspek-aspek yang tidak relevan. Contoh: memusatkan perhatian terhadap satu suara di antara berbagai suara dalam ruangan yang ramai.
2)   Atensi terbagi, yaitu konsentrasi terhadap lebih dari satu aktivitas dalam waktu yang sama. Contoh: seorang mahasiswa yang pecah perhatiannya atara melihat kiriman pesan pendek dengan mendengarkan penjelasan materi kuliah atau dosen.
3)   Atensi pemelihara, yaitu kemampuan untuk memelihara atensi terhadap stimulus terpilih untuk periode waktu yang panjang. Contoh: konsentrasi untuk membaca satu naskah atau artikel, dari awal sampai akhir, tanpa gangguan apapun.
4)   Atensi eksekutif, yang meliputi perencanaan kegiatan, pengalokasian atensi terhadap tujuan, kompensasi dan deteksi yang keliru, monitoring kemajuan tugas-tugas, dan keadaan yang sulit.
b.    Memori (memory), daya ingat terhadap informasi yang telah lalu. Ada tiga sistem memori yang ketiga-tiganya berpengaruh terhadap belajar remaja, yaitu:
1)   Short-term memory, yaitu sistem memori yang kapasitasnya terbatas, dlaam mana informasi yang diterima dapat disimpan selama 30 detik, jika tidak, informasi tersebut perlu diulang kembali, sehingga dapat disimpan lebih lama.
2)   Working memory, yaitu sejenis “workbech” (meja kerja) mental, di mana individu dapat memanipulasi dan menghimpun informasi, ketika dia mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan memahami bahasa ujaran dan tulisan.
3)   Long-term memory, yaitu sistem memori yang relatif permanen dan menyimpan banyak informasi untuk jangan waktu yang lama. Sedikit banyaknya informasi yang di simpan tergantung kepada aktivitas belajar dan usaha untuk mengingat.
c.    Pemungsian eksekutif (Executive functioning), yaitu proses kognitif yang bersifat kompleks yang meliputi pengambilan keputusan, berpikir kritis, berpikir kratif, dan metakognisi.
1)   Pengambilan keputusan. Usia remaja merupakan masa berkembangnya kemampuan mengambil keputusan, seperti dalam memilih teman, dan memilih sekolah lanjutan. Dibandingkan dengan masa anak, remaja lebih mampu mengambil keputusan dari bermacam opsi, menguji satu situasi dari berbagai perspektif, mengantisipasi konsekuensi keputusan, dan mempertimbangkan sumber-sumber yang dipercaya.
2)   Berpikir kritis, yaitu berpikir reflektif dan produktif, dan kemampuan mengevaluasi data/bukti. Di antara perubahan kognitif yang memungkinkan meningkatnya berpikir kritis adalah (a) semakin bertambahnya kecepatan, keotomatisan, dan kemampuan pemrosesan informasi; (b) semakin meluasnya isi pengetahuan dalam beragam domain; (c) semakin berkembangnya kemampuan mengkonstruk kombinasi-kombinasi pengetahuan yang baru; dan (d) semakin lebih spontan dalam menggunakan strategi dan prosedur untuk memperoleh, dan menerapkan pengetahan, seperti dalam membuat perencanaan dan menetapkan alternatif yang dipilih.
3)   Berpikir kreatif, yaitu kemampuan berpikir dengan cara-cara baru dan menemukan pemecahan masalah secara unik. Salah satu tujuan pembelajaran adalah membantu siswa agar mampu berpikir kreatif. Terdapat beberapa stategi untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif remaja, yait sebagai berikut:
a.    Brainstorming, yaitu teknik yang mendorong para siswa untuk mengungkapkan gagasan-gagasan kreatifnya dalam kelompok, atau mengemukakan segala sesuatu yang berkembang dalam benaknya. Walaupun diakui bahwa pada umumnya, remaja lebih kreatif apabila bekerja sendirian.
b.    Mengenalkan remaja ke lingkungan yang menstimulasi kreativitas, yaitu memberikan pengalaman langsung dan berbagai aktivitas yang menstimulasi remaja untuk menemukan pemecahan masalah yang tepat.
c.    Jangan terlalu mengontrol, yaitu jangan mendikte remaja dalam memilih sesuatu atau melakukan kegiatan, tetapi lebih baik memberikan keleluasaan kepadanya untuk memilih minatnya, dam mendukungnya (selama hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya atau agama).
d.    Mendorong motivasi internal, yaitu mengembangkan motif intrinsik siswa dalam melakukan suatu aktivitas, artinya siswa merasa senang melakukan hal itu.
e.    Membangun rasa percaya diri remaja, yaitu mendorong remaja agar meyakini kemampuannya sendiri untuk mengkreasi sesuatu yang inovatif atau berharga.
f.     Membimbing remaja untuk bersifat persisten (teguh hati) dan menunda gratifikasi (hadiah).
g.    Mendorong remaja untuk mau mengambil risiko intelektual.
h.    Mengenalkan orang-orang kreatif.
Metakognisi, yaitu bahwa pada masa remaja sudah berkembang tentang metakognisi (berpikir tentang berpikir, kognisi tentang kognisi, mengetahui tentang mengetahui). Metakognisi diakui sebagai keterampilan berpikir yang sangat penting, tidak hanya bagi remaja, tetapi juga orang dewasa. Keterampilan metakognisi diajarkan kepada siswa agar dapat memecahkan masalah. Dalam satu penelitian tentang masalah matematika verbal, seorang guru membimbing siswa yang prestasi belajarnya rendah, yaitu siswa yang tidak tahu makna suatu kata, tidak memiliki informasi untuk memecahkkan masalah, tidak tahu bagaimana memilah masalah kepada tahap-tahap yang lebih spesifik, dan tidak tahu bagaimana menyelsesaikan perhitungan. Setelah mendapat bimbingan tentang latihan berpikir metakognisi, siswa menjadi lebih baik dalam pelajaran matematikanya, dan juga sikapnya terhadap matematika. 



L.N., Syamsu Yusuf dan Nani M. Sugandhi. 2012. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar