Masa Sekolah Menengah
Atas termasuk ke dalam masa Remaja. Perkembangan kognitif adalah perkembangan
kemampuan (kapasitas) individu utnuk memanipulasi dan mengingat informasi.
Untuk membahas perkembangan kognitif (berpikir) remaja, pada paparan berikut
dikemukakan beberapa pandangan dari Piaget, Vigotsky, dan para ahli psikologi
pemrosesan informasi (information-processing
theory).
Menurut Jean Piaget,
perkembangan kognitif remaja berada pada tahap “Formal operatio stage”, yaitu tahap ke empat atau terakhir dari
tahapan perkembangan kognitif. Tahapan berpikir formal ini terdiri atas dua
subperiode (Broughton dalam John W. Santrock , 2010: 97) (dalam Yusuf L.N.
& Sugandhi, 2012: 81), yaitu:
a. Early formal operational thougt,
yaitu kemampuan remaja untuk berpikir dengan cara-cara hipotetik yang
menghasilkan pikiran-pikiran sukarela (bebas) tentang berbagai kemungkinan
tidak terbatas. Dalam periode awal ini, remaja mempersepsi dunia sangat
bersifat subjektif dan idealistik.
b. Late formal operational thought,
yaitu remaja mulai menguji pikirannya dengan pengalamannya, dan mengembalikan
keseimbangan intelektualnya. Melalui akomodasi (penyesuaian terhadap informasi/
hal baru), remaja mulai dapat menyesuaikan terhadap bencana atau kondisi
pancaroba yang telah dialaminya.
Pada awalnya tulisannya,
Piaget mengemukakan bahwa berpiikir operasi formal itu tercapai secara sempurna
pada awal remaja, sekitar usia 11-15 tahun. Namun kemudia, dia merevisi
pendapatnya itu, yaitu bahwa kemampuan berpikir formal itu tercapai secara
sempurna pada 15-20 tahun.
Untuk memahami
perkembangan kognitif remaja ini dapat juga dikemukakan pendapat Vigotsky (John
W. Santrock, 2010: 101) (dalam dalam Yusuf L.N. & Sugandhi, 2012: 83).
Konsep utama ia adalah “Zone of proximal
development (ZPD)”, yaitu daerah tugas-tugas yang sangat sulit untuk
diatasi oleh individu secara sendirian, tetapi baru dapat dicapai apabila
mendapat bimbingan atau bantuan dari orang dewasa atau teman sebaya yang lebih
terampil. ZPD ini meliputi dua sisi, yaitu batas bawah dan batas atas. Batas
bawah adalah tahap pemecahan masalah yag dapat dilakukan oleh remaja sendiri
tanpa bantuan orang lain. Sementara batas atas adalah tahap berpikir remaja
dalam memecahkan masalah dengan bantuan orang lain (guru atau instruktur).
Vigotsky meyakini bahwa perkembangan kognitif, dalam hal ZPD sangat dipengaruhi
oleh lingkungan sosial.
Meskipun Piaget dan
Vigotsky beraliran yang sama, yaitu sebagai contuctivist,
namun Vigotsky lebih terkenal dengan “a
social contructivist approach”, yang menekankan kepada “social context of learning” dan
pemerolehan pengetahuan adalah melalui interaksi sosial. Menurut Piaget, akhir
perkembangan kognitif adalah operasi formal, sedangkan menurut Vigotsky bisa
berbeda bagi setiap remaja, tergantung kepada keterampialn yang paling penting
dalam budaya tertentu. Implikasi kedua pendekatan atau teori tersebut terhadap
pendidikan atau mengajar, masing-masing adalah (a) menurut teori Piaget, guru
perlu mendukung siswa untuk mengekplorasi lingkungan dan menemukan pengetahuan;
dan (b) menurut teori Vigotsky, siswa memerlukan banyak kesempatan untuk
belajar bersama guru dan teman sebaya yang lebih terampil.
Pandangan berikutnya
adalah dari para ahli psikologi “information-processing”.
Sebagai suatu teori, information
processing merupakan teori kognitif yang mencoba “to look inside” pikiran individu (siswa) dalam upaya mengeksplorasi
apa yang terjadi ketika berpikir dan belajar berlangsung, dan memfokuskan
kepada cara-cara yang spesifik untuk berpikir tentang informasi yang
diterimanya. Para ahli pemrosesan informasi memandang otak (pikiran) manusia
merupakan sistem kognitif yang kompleks, yang dapat dianalogikan dengan
komputer digital. Seperti halnya komputer, sistem information processing
manusia juga memiliki beberapa komponen, yaitu sensory receptors, working (short term) memory, dan long-term memory.
Terkait dengan pemrosesan
informasi tentang kognitif remaja adalah menyangkut bagaimana remaja
memperoleh, menyimpan, dan menggunakan informasi untuk berpikir dan memecahkan
masalah. Dalam pemrosesan informasi ini ada dimensi pemting yang perlu
diperhatikan, yaitu atensi (attention),
memori (memory), dan pemungsian
eksekutif (executive functioning).
a. Atensi
(attention), yaitu konsentrasi atau
pemusatan perhatian. Ada empat cara atensi:
1) Atensi
selektif, yaitu pemusatan perhatian terhadap aspek khusus yang relevan, dan
mengabaikan aspek-aspek yang tidak relevan. Contoh: memusatkan perhatian
terhadap satu suara di antara berbagai suara dalam ruangan yang ramai.
2) Atensi
terbagi, yaitu konsentrasi terhadap lebih dari satu aktivitas dalam waktu yang
sama. Contoh: seorang mahasiswa yang pecah perhatiannya atara melihat kiriman
pesan pendek dengan mendengarkan penjelasan materi kuliah atau dosen.
3) Atensi
pemelihara, yaitu kemampuan untuk memelihara atensi terhadap stimulus terpilih
untuk periode waktu yang panjang. Contoh: konsentrasi untuk membaca satu naskah
atau artikel, dari awal sampai akhir, tanpa gangguan apapun.
4) Atensi
eksekutif, yang meliputi perencanaan kegiatan, pengalokasian atensi terhadap
tujuan, kompensasi dan deteksi yang keliru, monitoring kemajuan tugas-tugas,
dan keadaan yang sulit.
b. Memori
(memory), daya ingat terhadap
informasi yang telah lalu. Ada tiga sistem memori yang ketiga-tiganya
berpengaruh terhadap belajar remaja, yaitu:
1) Short-term memory,
yaitu sistem memori yang kapasitasnya terbatas, dlaam mana informasi yang
diterima dapat disimpan selama 30 detik, jika tidak, informasi tersebut perlu
diulang kembali, sehingga dapat disimpan lebih lama.
2) Working memory, yaitu sejenis “workbech” (meja kerja) mental, di mana
individu dapat memanipulasi dan menghimpun informasi, ketika dia mengambil
keputusan, memecahkan masalah, dan memahami bahasa ujaran dan tulisan.
3) Long-term memory,
yaitu sistem memori yang relatif permanen dan menyimpan banyak informasi untuk
jangan waktu yang lama. Sedikit banyaknya informasi yang di simpan tergantung
kepada aktivitas belajar dan usaha untuk mengingat.
c. Pemungsian
eksekutif (Executive functioning),
yaitu proses kognitif yang bersifat kompleks yang meliputi pengambilan
keputusan, berpikir kritis, berpikir kratif, dan metakognisi.
1) Pengambilan
keputusan. Usia remaja merupakan masa berkembangnya kemampuan mengambil
keputusan, seperti dalam memilih teman, dan memilih sekolah lanjutan.
Dibandingkan dengan masa anak, remaja lebih mampu mengambil keputusan dari
bermacam opsi, menguji satu situasi dari berbagai perspektif, mengantisipasi
konsekuensi keputusan, dan mempertimbangkan sumber-sumber yang dipercaya.
2) Berpikir
kritis, yaitu berpikir reflektif dan produktif, dan kemampuan mengevaluasi
data/bukti. Di antara perubahan kognitif yang memungkinkan meningkatnya
berpikir kritis adalah (a) semakin bertambahnya kecepatan, keotomatisan, dan
kemampuan pemrosesan informasi; (b) semakin meluasnya isi pengetahuan dalam
beragam domain; (c) semakin berkembangnya kemampuan mengkonstruk
kombinasi-kombinasi pengetahuan yang baru; dan (d) semakin lebih spontan dalam
menggunakan strategi dan prosedur untuk memperoleh, dan menerapkan pengetahan,
seperti dalam membuat perencanaan dan menetapkan alternatif yang dipilih.
3) Berpikir
kreatif, yaitu kemampuan berpikir dengan cara-cara baru dan menemukan pemecahan
masalah secara unik. Salah satu tujuan pembelajaran adalah membantu siswa agar
mampu berpikir kreatif. Terdapat beberapa stategi untuk mengembangkan kemampuan
berpikir kreatif remaja, yait sebagai berikut:
a. Brainstorming,
yaitu teknik yang mendorong para siswa untuk mengungkapkan gagasan-gagasan
kreatifnya dalam kelompok, atau mengemukakan segala sesuatu yang berkembang
dalam benaknya. Walaupun diakui bahwa pada umumnya, remaja lebih kreatif
apabila bekerja sendirian.
b. Mengenalkan
remaja ke lingkungan yang menstimulasi kreativitas, yaitu memberikan pengalaman
langsung dan berbagai aktivitas yang menstimulasi remaja untuk menemukan
pemecahan masalah yang tepat.
c. Jangan
terlalu mengontrol, yaitu jangan mendikte remaja dalam memilih sesuatu atau
melakukan kegiatan, tetapi lebih baik memberikan keleluasaan kepadanya untuk
memilih minatnya, dam mendukungnya (selama hal itu tidak bertentangan dengan
nilai-nilai budaya atau agama).
d. Mendorong
motivasi internal, yaitu mengembangkan motif intrinsik siswa dalam melakukan
suatu aktivitas, artinya siswa merasa senang melakukan hal itu.
e. Membangun
rasa percaya diri remaja, yaitu mendorong remaja agar meyakini kemampuannya
sendiri untuk mengkreasi sesuatu yang inovatif atau berharga.
f. Membimbing
remaja untuk bersifat persisten (teguh hati) dan menunda gratifikasi (hadiah).
g. Mendorong
remaja untuk mau mengambil risiko intelektual.
h. Mengenalkan
orang-orang kreatif.
Metakognisi, yaitu bahwa
pada masa remaja sudah berkembang tentang metakognisi (berpikir tentang
berpikir, kognisi tentang kognisi, mengetahui tentang mengetahui). Metakognisi
diakui sebagai keterampilan berpikir yang sangat penting, tidak hanya bagi
remaja, tetapi juga orang dewasa. Keterampilan metakognisi diajarkan kepada
siswa agar dapat memecahkan masalah. Dalam satu penelitian tentang masalah
matematika verbal, seorang guru membimbing siswa yang prestasi belajarnya
rendah, yaitu siswa yang tidak tahu makna suatu kata, tidak memiliki informasi untuk
memecahkkan masalah, tidak tahu bagaimana memilah masalah kepada tahap-tahap
yang lebih spesifik, dan tidak tahu bagaimana menyelsesaikan perhitungan. Setelah
mendapat bimbingan tentang latihan berpikir metakognisi, siswa menjadi lebih
baik dalam pelajaran matematikanya, dan juga sikapnya terhadap matematika.
L.N., Syamsu Yusuf dan Nani M. Sugandhi. 2012. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar