Kamis, 24 November 2016

Analisis "Pengklaiman" Tari Pendet Bali oleh Malaysia


oleh: Atikah

Tari pendet dari Bali merupakan salah satu dari kebudayaan khas Nusantara yang menjadi Identitas bangsa Indonesia. Kasus pengklaiman budaya sudah tidak terdengar asing lagi. Berita-berita yang memuat berbagai kasus pengklaiman sudah banyak dipublikasikan. Mulai dari pengklaiman budaya, makanan, bahkan lagu daerah. Dari kumpulan berita mengenai kasus pengklaiman ini, pelakunya kebanyakan adalah negara tetangga Indonesia, yaitu negara Malaysia. Entah mengapa hanya negara Malaysia yang terdengar mengklaim kebudayaan dan ciri khas Indonesia. Mungkin kalimat "rumput tetangga lebih hijau" itu benar adanya. Kasus ini membahas tentang pengklaiman tari Pendet dari Bali. Ini terjadi karena Malaysia memasang Tari Pendet dalam iklan visit year. Dalam berita tersebut, Malaysia tidak hanya mengklaim tari Pendet saja, Malaysia juga pernah ketahuan mengklaim Angklung, Reog Ponorogo, Batik, Hombo Batu, dan Tari Folaya. Analisis kasus ini selebihnya akan membahas mengenai kebudayaan khas secara menyeluruh (tidak hanya tari Pendet dari Bali).
Sebenarnya, mengapa bangsa Indonesia sering kecolongan budaya khasnya? Analoginya adalah jika kita memiliki ladang pertanian bagus (budaya Indonesia), namun tidak ada yang menjaganya, melindunginya, dibiarkan walaupun sedang subur-suburnya, banyak jenis tanamannya yang hanya dimiliki oleh kita (artinya: tanaman satu-satunya diseliruh dunia). Dan ada kambing (Negara selain Indonesia) yang suka berkeliaran disekitar ladang. Apa kambing tersebut hanya diam saja? Apa kambing itu hanya memandangi makanan enak di depan matanya padahal ia tahu tidak ada yang menjaganya (ladang)? Tentu saja tidak! Kambing itu pastinya langsung menuju makanan segar dan banyak jenisnya. Apalagi tidak ada yang menjaga dan melindungi ladang. Habis sudah se-isi ladang! Lantas, kita sebagai pemiliknya tidakkah merasa marah dan kesal ladangnya hanya tinggal sisa makanan si kambing? Lantas salah siapa? Salah kambing? Bukan! Ini sepenuhnya salah kita sebagai pemilik ladang. Tidak memperdulikan dan tidak menyayangi apa yang sudah susah-susah kita tanam dari bibit sampai besar. Sehingga si kambing mendapat kesempatan emas makan gratis sebanyak-banyaknya.
Salah kita sebagai generasi muda dan juga pribumi lainnya tidak memeluk erat budaya khasnya. Generasi muda era globalisasi sibuk mencari berita idol luar negeri (termasuk kami (red: pemateri)). Program TV sibuk menayangkan drama-drama luar negeri (India, Turki, Korea, Thailand, Tiongkok, Jepang). Jika ada acara ulang tahun saluran TV, mereka mengundang tamu spesial nan terkenal dari luar negeri. Kita paham, pemerintah sibuk mengurus prokernya yang banyak dan sangat sayang jika ditinggalkan. Kemungkinan juga pemerintah sempat melirik dan mengurus pengklaiman. Namun menurut kita, tindakan pemerintah serba lambat. Mereka mengurusnya jika hanya kasus pengklaiman telah dipublikasikan. Dalam hal ini, yang dikhawatirkan adalah generasi muda. Kenapa hanya generasi muda yang dikhawatirkan? Mengapa pribumi lainnya tidak? Karena generasi muda adalah agen perubahan negara untuk ke depannya. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Jika kita kehilangan budaya dan ciri khasnya, apalah daya bangsa kita. Dijajah lagi? Kita sebagai manusia saja memiliki ciri khas sendiri. Kalau ciri khas kita hilang, bukan kita banget nanti jadinya. Bagaimana jika negara kita kehilangan ciri khasnya? Tentu ngga Indonesia banget. Orang-orang di luar negara Indonesia mungkin akan sulit mendeskripsikan negara kita. Jika ada ciri khasnya, mungkin jika orang luar negeri berbicara "apa kamu tahu Indonesia?" lalu jawabannya "Oh. Yang di negaranya punya banyak budaya dan ciri khas lain ya? Saya pernah menonton tari pendet dari Bali di youtube. Bagus."
Dalam hal ini, kami memberi beberapa saran untuk meningkatkan kesadaran menjaga ciri khas negara Indonesia.
Yang pertama, saran untuk pemerintah. Kami menyarankan, pemerintah menambah program ekstrakurikuler wajib yang mempelajari budaya khas daerah masing-masing di sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas. Mengapa demikian? Karena pencengkokan kesukaan budaya khas harus dilakukan sejak dini agar terbiasa. Bukankah cinta datang karena terbiasa?  Begitu juga dengan hal ini. Jika kita terbiasa mempelajari budaya, maka lama kelamaan -jika orang yang mempelajari budaya membuka hatinya-, dijamin akan cinta terhadap budaya khas daerahnya.
Yang kedua, saran untuk saluran TV. Kami menyarankan, saluran TV sebaiknya memberi tayangan-tayangan yang Indonesia banget. Misalkan, jika saluran TV sedang merayakan ulang tahun, tolong mengutamakan dan mengadakan banyak pertunjukkan budaya khas Nusantara. Jangan didominasikan oleh Band. Karena pengaruh program TV pada saluran TV saat ini sangat besar.  Juga, diharapkan untuk membuat sinetron yang berkualitas agar masyarakat Indonesia berpaling dari drama luar negeri dan tentunya program TV dibumbui dengan adat, budaya dan ciri khas Nusantara.
Yang ketiga, untuk generasi muda. Kami menyarakan untuk generasi muda seperti kita membuka hati untuk mencintai budaya khas Nusantara dan juga ikut berpartisipasi melakukan pelestarian dan perlindungan budaya khas daerah-nusantara. Memang, jika menonton pertunjukkan budaya khas daerah kita sangat kagum. Namun, cinta kita (generasi muda) tidak sampai sejauh bisa melindungi. Cinta kita hanya sesaat dan hanya geram jika mendengar kabar budaya kita diklaim negara lain. Selebihnya, kita hanya cuek. Hal ini sendiri juga tidaklah mudah. Karena tidak semua manusia dilahirkan dengan bakat yang sama. Tetapi setidaknya, kita harus mengakui adanya budaya khas daerah dan nusantara.
Yang keempat, untuk pribumi lain. Jadilah sebagai penyebar kebudayaan khas Nusantara. Dalam hal ini, zaman globalisasi menjadi keuntungan tersendiri karena adanya media sosial. Media sosial menjadi peran penting untuk mengenalkan dan menyebarluaskan kebudayaan khas Nusantara. Karena dengan begitu, seluruh dunia setidaknya pernah mendengar atau mengetahui dan mengenal kebudayaan khas Nusantara. Cobalah untuk peduli walau itu sulit. Karena peduli dan cinta kepada kebudayaan khas dilakukan bertahap (butuh proses). -Jujur saja, kami juga sebagai pemateri masih kurang memanfaatkan media sosial-.
Pada dasarnya, kebudayaan bukan hanya milik daerah tertentu, dan orang-orang tertentu. Tetapi kebudayaan itu milik semua manusia yang tinggal di Indonesia dan memiliki darah Indonesia. Milik Kami, Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar