oleh: Atikah
Tari pendet dari Bali
merupakan salah satu dari kebudayaan khas Nusantara yang menjadi Identitas bangsa
Indonesia. Kasus pengklaiman budaya sudah tidak terdengar asing lagi. Berita-berita
yang memuat berbagai kasus pengklaiman sudah banyak dipublikasikan. Mulai dari
pengklaiman budaya, makanan, bahkan lagu daerah. Dari kumpulan berita mengenai
kasus pengklaiman ini, pelakunya kebanyakan adalah negara tetangga Indonesia, yaitu
negara Malaysia. Entah mengapa hanya negara Malaysia yang terdengar mengklaim kebudayaan
dan ciri khas Indonesia. Mungkin kalimat "rumput tetangga lebih
hijau" itu benar adanya. Kasus ini membahas tentang pengklaiman tari
Pendet dari Bali. Ini terjadi karena Malaysia memasang Tari Pendet dalam iklan
visit year. Dalam berita tersebut, Malaysia tidak hanya mengklaim tari Pendet
saja, Malaysia juga pernah ketahuan mengklaim Angklung, Reog Ponorogo, Batik, Hombo
Batu, dan Tari Folaya. Analisis kasus ini selebihnya akan membahas mengenai
kebudayaan khas secara menyeluruh (tidak hanya tari Pendet dari Bali).
Sebenarnya, mengapa bangsa
Indonesia sering kecolongan budaya khasnya? Analoginya adalah jika kita
memiliki ladang pertanian bagus (budaya Indonesia), namun tidak ada yang
menjaganya, melindunginya, dibiarkan walaupun sedang subur-suburnya, banyak
jenis tanamannya yang hanya dimiliki oleh kita (artinya: tanaman satu-satunya
diseliruh dunia). Dan ada kambing (Negara selain Indonesia) yang suka
berkeliaran disekitar ladang. Apa kambing tersebut hanya diam saja? Apa kambing
itu hanya memandangi makanan enak di depan matanya padahal ia tahu tidak ada
yang menjaganya (ladang)? Tentu saja tidak! Kambing itu pastinya langsung
menuju makanan segar dan banyak jenisnya. Apalagi tidak ada yang menjaga dan
melindungi ladang. Habis sudah se-isi ladang! Lantas, kita sebagai pemiliknya
tidakkah merasa marah dan kesal ladangnya hanya tinggal sisa makanan si
kambing? Lantas salah siapa? Salah kambing? Bukan! Ini sepenuhnya salah kita
sebagai pemilik ladang. Tidak memperdulikan dan tidak menyayangi apa yang sudah
susah-susah kita tanam dari bibit sampai besar. Sehingga si kambing mendapat
kesempatan emas makan gratis sebanyak-banyaknya.
Salah kita sebagai generasi
muda dan juga pribumi lainnya tidak memeluk erat budaya khasnya. Generasi muda
era globalisasi sibuk mencari berita idol luar negeri (termasuk kami (red:
pemateri)). Program TV sibuk menayangkan drama-drama luar negeri (India, Turki,
Korea, Thailand, Tiongkok, Jepang). Jika ada acara ulang tahun saluran TV,
mereka mengundang tamu spesial nan terkenal dari luar negeri. Kita paham,
pemerintah sibuk mengurus prokernya yang banyak dan sangat sayang jika
ditinggalkan. Kemungkinan juga pemerintah sempat melirik dan mengurus pengklaiman.
Namun menurut kita, tindakan pemerintah serba lambat. Mereka mengurusnya jika
hanya kasus pengklaiman telah dipublikasikan. Dalam hal ini, yang dikhawatirkan
adalah generasi muda. Kenapa hanya generasi muda yang dikhawatirkan? Mengapa
pribumi lainnya tidak? Karena generasi muda adalah agen perubahan negara untuk
ke depannya. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Jika kita kehilangan budaya
dan ciri khasnya, apalah daya bangsa kita. Dijajah lagi? Kita sebagai manusia saja
memiliki ciri khas sendiri. Kalau ciri khas kita hilang, bukan kita banget
nanti jadinya. Bagaimana jika negara kita kehilangan ciri khasnya? Tentu ngga
Indonesia banget. Orang-orang di luar negara Indonesia mungkin akan sulit mendeskripsikan
negara kita. Jika ada ciri khasnya, mungkin jika orang luar negeri berbicara
"apa kamu tahu Indonesia?" lalu jawabannya "Oh. Yang di negaranya
punya banyak budaya dan ciri khas lain ya? Saya pernah menonton tari pendet
dari Bali di youtube. Bagus."
Dalam hal ini, kami memberi
beberapa saran untuk meningkatkan kesadaran menjaga ciri khas negara Indonesia.
Yang pertama, saran untuk
pemerintah. Kami menyarankan, pemerintah menambah program ekstrakurikuler wajib
yang mempelajari budaya khas daerah masing-masing di sekolah mulai dari Sekolah
Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas. Mengapa demikian? Karena pencengkokan
kesukaan budaya khas harus dilakukan sejak dini agar terbiasa. Bukankah cinta
datang karena terbiasa? Begitu juga
dengan hal ini. Jika kita terbiasa mempelajari budaya, maka lama kelamaan -jika
orang yang mempelajari budaya membuka hatinya-, dijamin akan cinta terhadap
budaya khas daerahnya.
Yang kedua, saran untuk
saluran TV. Kami menyarankan, saluran TV sebaiknya memberi tayangan-tayangan yang
Indonesia banget. Misalkan, jika saluran TV sedang merayakan ulang tahun,
tolong mengutamakan dan mengadakan banyak pertunjukkan budaya khas Nusantara.
Jangan didominasikan oleh Band. Karena pengaruh program TV pada saluran TV saat
ini sangat besar. Juga, diharapkan untuk
membuat sinetron yang berkualitas agar masyarakat Indonesia berpaling dari
drama luar negeri dan tentunya program TV dibumbui dengan adat, budaya dan ciri
khas Nusantara.
Yang ketiga, untuk
generasi muda. Kami menyarakan untuk generasi muda seperti kita membuka hati
untuk mencintai budaya khas Nusantara dan juga ikut berpartisipasi melakukan
pelestarian dan perlindungan budaya khas daerah-nusantara. Memang, jika menonton
pertunjukkan budaya khas daerah kita sangat kagum. Namun, cinta kita (generasi
muda) tidak sampai sejauh bisa melindungi. Cinta kita hanya sesaat dan hanya
geram jika mendengar kabar budaya kita diklaim negara lain. Selebihnya, kita
hanya cuek. Hal ini sendiri juga tidaklah mudah. Karena tidak semua manusia dilahirkan
dengan bakat yang sama. Tetapi setidaknya, kita harus mengakui adanya budaya
khas daerah dan nusantara.
Yang keempat, untuk pribumi
lain. Jadilah sebagai penyebar kebudayaan khas Nusantara. Dalam hal ini, zaman
globalisasi menjadi keuntungan tersendiri karena adanya media sosial. Media
sosial menjadi peran penting untuk mengenalkan dan menyebarluaskan kebudayaan
khas Nusantara. Karena dengan begitu, seluruh dunia setidaknya pernah mendengar
atau mengetahui dan mengenal kebudayaan khas Nusantara. Cobalah untuk peduli walau
itu sulit. Karena peduli dan cinta kepada kebudayaan khas dilakukan bertahap
(butuh proses). -Jujur saja, kami juga sebagai pemateri masih kurang
memanfaatkan media sosial-.
Pada dasarnya, kebudayaan
bukan hanya milik daerah tertentu, dan orang-orang tertentu. Tetapi kebudayaan
itu milik semua manusia yang tinggal di Indonesia dan memiliki darah Indonesia.
Milik Kami, Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar