Selasa, 01 Agustus 2017

DoS

DOS (Design of Smawar) *kalo gasalah. Udah 'agak' lupa. /maapin saya pak mubarok😢/
.
.
.
Ingat sekali, saat pulang sekolah (SMA) sukanya sore2. Nia, Atikah, Tia, Anggi, Faiqoh, Leni, terkadang Efi, terkadang Nipeh, terkadang Putri Ayu (yg gapake terkadang pasti ikutan soalnya ada hubungan 'nebengisme'). Pasti 'nongkrong' dulu ke masjid dan saung samping masjid. Ntah itu diskusi, berkeluh-kesah ttg materi pelajaran atau soal ujian, sekedar mau jajan, sekedar nikmatin wi-fi sekolah, nonton yutub (paling sering streaming stand up comedy /lagi jamannya wkwkwk/), ngadem karena males pulang /panas katanya/, dan sebagainya.
Kelas 10 semester 2, pak Mubarok dateng sebagai guru baru TIK. Beliau orangnya baiiik banget, bisa beradaptasi sama anak-anak labil yang suka tawar-menawar. Enak diajak diskusinya. Beliau lulusan UPI Bandung jurusannya.... /yaAllah pak saya lupa namanyaa maap😭/ pokoknya berbau TIK. Atikah, Tia, Anggi, Leni, Nia, Efi suka banget curhat sama bapak (diluar jam pelajaranㅡ eh kadang juga curi-curi waktu curhat pas lagi jam pelajaran). Apalagi ttg dunia perkuliahan (sebagai mentor) hehehe. Ok skip. Ini mau ngomongin DOS.
Semenjak ada pak Mubarok ini, tempat 'nongkrong' kami pindah lapak. Di LAB Komputer. Kadang2, pulang2 ke LAB dulu. Ngadem. Internetan. Curhat-curhatan sama bapak. Pada akhirnya, ntah lupa ide siapa, dari pada ga ngapa-ngapain, kami belajar design. Dengan senjata coreldraw, mulai deh mentoran dengan pembimbing bapak yang lulusan UPI Bandung. "Eh? Kok seru sih? Weeeehhh keren amatt." Karena kami yang masih remaja ini orangnya suka penasaran sama hal2 baru /ini maklum wey-/biar dramatis hehe/, jadilah 'ketagihan' (yang positif). Pulang sekolah pasti ke LAB /belajar design lagi yeay/. Sampe2 pada akhirnya, ntah lupa ide siapa. Iseng-iseng minta 'perkumpulan design' ini dijadiin ekskul resmi. "Eh bagus juga. Yaudah nanti bapak ajuin ke bu Kepsek. Yaudah diskusiin dulu namanya apaa", kata pak Mubarok /ngomongnya gapas bangt begitu wkwk/. Hari demi hari, akhirnya nemu deh nama DOS. Ohh satu lagi, di pertengahan jalan, ada anak laki2 juga yg ikutan pelatihan design wkwk /padahal tadinya bapak Mubarok ini yg tercantik. Maap ya pak😢. Marahin aja mereka pak/.
Setelah bapak ngajuin ke bu Kepsek, akhirnya diijinin. /seneng... seneng... yeay/. Dengan semangat bara api, mulai deh kita promosiin DOS ini ke tiap kelas. Sayangnya, kami ini (yg cewek2) kurang tanggung jawab. Kurang aktif ditengah-tengah perjalanan setelah mjd ekskul resmi. /maapin kami pak... hukum aja pak hukum ni😔/. Etapi kadang suka ngunjungin juga. Dan sedihnya, itulah cerita akhir yang bisa diceritakan. /"Lha? Kenapa emang?"/. Soalnyaa kenangan ini terlalu panjang untuk diketik. Lebih enak untuk dikenang sendiri. Lantas ketawa sendiri saat mengingatnya. Ada banyak potongan kenangan yang ingin diceritakan, tapi lebih baik untuk disimpan /untuk nanti gitu ya wkwk/.
.
.
Terimakasih Allah, terimakasih bapak Mubarok, terimakasih kalian. Kenangan ini bukan masa lalu yang harus dilupakan, tetapi masa lalu yang harus diingat /dan siapa tau bisa di share di sosmed (yang positif dan bukan aib di share ya wkwk)/.
Btw, kamu kok suka banget ngenang masa lalu?

Catetan : foto ekskul DoS pada masa kami ada di buku tahunan kakak tingkat 2014 hehehe

Minggu, 18 Desember 2016

Upaya Mewujudkan Filsafat Pendidikan di Indonesia

Pendidikan di Indonesia baru dalam tahap perhatian. Perhatian-perhatian terhadap perlunya filsafat pendidikan itupun baru muncul disana-sini belum terkoordinasi menjadi suatu perhatian besar untuk segera mewujudkanya. Kondisi seperti ini tidak terlepas dari kesimpangsiuran pandangan para pendidik  terhadap pendidikan itu sendiri,seperti telah diungkapkan diatas.
Ada suatu hasil penelitian bertalian dengan hal diatas yang dilakukan oleh Jasin, dan kawan-kawanya (1994), dengan responden para mahasiswa PGSD, SI, S2, dan S3 IKIP Jakarta dan para ahli pendidikan di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Penelitian itu menemukan hal-hal sebagai berikut

1.    Lebih dari separoh responden menginginkan penegasan kembali pengertian pendidikan dan pengajaran
2.    Hampir separoh responden mahasiswa dan dosen berpendapat bahwa ilmu pendidikan kurang dikembangkan, sementara itu seperlima para ahli pendidikan menyatakan pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru
3.    Para mahasiswa dan dosen berpendapat ipendidikan adalah ilmu mandiri, sementara itu hampir sepertiga para ahli menyatakan ilmu pendidikan adalah ilmu terapan, dan
4.    Semua responden menyatakan kurang mengenal struktur ilmu pendidikan.Karena keragaman pandangan diatas membuat responden terpecah menjadi sebagian mendukung pernyataan guru tidak mendidik melainkan mengajar dan sebagian lagi menolak

Dari hasil penelitian tersebut di atas dapat ditarik sejumlah masalah bertalian dengan ilmu pendidikan,yaitu :
1.    Belum jelas pengertian pendidikan dan pengajaran
2.    Ilmu Pendidikan kurang dikembangkan
3.    Ilmu Pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
4.    Belum jelas apakah ilmu Pendidikan merupakan ilmu dasar atau ilmu terapan.
5.    Struktur ilmu pendidikan kurang dikenal.
6.    Belum jelas apakah guru mendidik dan mengajar atau hanya mengajar saja.

Keenam masalah tersebut di atas menunjukan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan sebagai ilmu belum ditangani.  Mulai dari pengertian, apakah sebagai ilmu dasar atau ilmu terapan, struktur ilmu itu, sampai dengan penerapannya pada para calon guru dan guru-guru masih belum jelas. Kondiosi ilmu pendidikan seperti ini terjadi karena memang ilmu itu belum digali dan dikembangkan.
Untuk mengembangkan ilmu Pendidikan yang bercorak Indonesia secara valid, terlebih dahulu dibutuhkan pemikiran dan perenungan itu adalah filsafat yang khusus membahas pendidikan yang tepat diterpkan dibumi Indonesia . Dengan kata lain, untuk menemukan teori-teori pendidikan yang bercorak Indonesia dibutuhkan terlebih dahulu rumusan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia pula.

Bagaimana kiat untuk meningkatkan kegiatan usah merumuskan filsafat pendidikan Indonesiaini, yang kin baru falam tahap perhatian yang bersifat sporadic ? Tampaknya kiat itu perlu disesuaikan dengan alam kebiasaan bangsa Indonesia saat ini sesuatu akan terjadi secara relative lebih mudah bila gagasan itu bersumber dari dan disepakati atau disetujui oleh pemerintah. Filsafat pendidikan akan lebih mudah mendapat jalan dalam perkembanganya. Manakala pemrakarsa dapat mengugah hati pemerintah untuk menyetujuinya.

Upaya mendorong pemerintah untuk member isyarat akan pentingnya merumuskan filsafat pendidikan dan teori pendidikan yang bercorak Indonesia sudah pernah dilakukan menjelang sidang  umum MPR (kompasa,27 Nopembert 1992), sebagai satu sumbangaan untukk bahan siding umum itu. Namun GBHN 1993 sebagai produk siding itu,tidak mencantumkan perlunya perumusan filsafat dan teori pendidikan itu.itu menunjukan kemauan politik pemerintah kearah itu belum ada. Mudah-mudahan di waktu-waktu yang akan datang kemauan itu akan muncul.

Di samping kunci utama untuk memulai kegiatan pengembangan filsafat pendidikan itu belum ada, ada lagi kunci kedua yang membuat sulitnya mengembangkan filsafat dan teori pendidikan itu, yaitu kesulitan menjabarkan sila-sila Pancasila agar mudah diterapkan di lapangan. Memang benar sila-sila Pancasila sudah dijabarkan menjadi 45 butir, tetapi penjabanran itu belum tentu sesuai dengan kebiasaan kerja para ahli pendidikan yang membuat hasil kerja mereka lebih mudah diterapkan di lapangan. Sampai sekarnag tidak setiap ahli diperkenankan menjabanrkan sila-sila Pancasila. Ynag diperbolehkan menjabarkan sila-sila itu hanya BP7 pusat, dengan maksud sangat mungkin unutk menghindari kesimpang-siuran makna sila-sila Pancasila itu sendiri

Tetapi bila para ahli pendidikan yang berwenang merumuskan filsafat pendidikan tidak diperkenankan menjabarkan atua menafsirkan sendiri  sila-sila Pancasila itu akan membatasi kebebasan mereka berfikir dan mewujudkan filsafat itu. Bola hal itu tidak bias ditawar-tawar, mungkin  dapat diambil jalan kompromi yaitu dengan dibentuk tim yang anggotanya beberapa ahli pendidikan dan beberapa anggota BP7 pusat. Dengan cara ini kemacetan salah satu faktor penghambat pengembangan filsafat pendidikan di Indonesia bias diatasi.

Andaikan isyarat untuk mewujudkan filsafat pendidikan sudah ada atau sudah ada suatu kelompok yang berupaya merumuskan filsafat itu, maka ada beberapa hal yang harus dipikirkan. Hal-hal yang dimaksud adalah:

1.    Apakah filsafat pendidikan yang akan dibentuk, yang sesuai dengan kondisi dan budaya Indonesia akan diberi nama Filsafat Pendidikan Pancasila atau dengan nama lain ?
2.    Apakah filsafat pendidikan itu diambil dari filsafat pendidikan internasional yang sudah ada yang sudah ada, dengan memilih salah satu dari Esensilais, Perenialis, Progesivise, Rekonstruksionis, dan Eksistensialis? Sehingga tinggal merevisi agar cocok dengan kondisi Indonesia.
3.    Ataukah filsafat itu dimunculkan  bersumber dari filsafdat-filsafat umum yang berlaku secara Internasional, seperti yang dilaksanakan oleh Negara Australia. Ahli pendidikan di Australia ,menyatakan filasfat yang mendasari pendidikan mereka adalah Liberal, Demokrasi, dam multicultural ( Made Pidarta, 1995 ). Seakan-akan mereka tidak memiliki filsafat khusus tentang pendidikan.

ISPI (1989) mengingatkan bahwa tugas utama para ahli ilmu Pendidikan adalah (1) mengungkapkan pikiran yang sistematik dan mendasar mengenai implikasi filsafat Pancasila dalam filsafat pendidikan nasional yang akan dibentuk, dan (2) dalam mengungkapkan sumber-sumber dari luar termasuk teori pendidikan dan perlu diadakan saringan-saringan agar sesuai dengan filsafat negara kita.



Sumber: Ahmadi, Rulam. 2014. Landasan Filsafat Dalam Pendidikan. (Tersedia online: http://www.infodiknas.com/landasan-filsafat-dalam-pendidikan.html, diakses pada tanggal 19 Desember 2016 jam 12.44)

Pancasila Sebagai Landasan Filsafat Sistem Pendidikan Nasional

Bangsa Indonesia memiliki filsafat umum atau filsafat Negara ialah pancasila sebagai falsafah Negara, Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam berkarya pada segala bidang. Pasal 2 UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Rincian selanjutnya tentang hal itu tercantum dalam penjelasan UU-RI No. 2 Tahun 1989, yang menegaskan bahwa pembangunan nasioanal termasuk dibidang pendidikan adalah pengamalan pancasila, dan untuk itu pendidikan nasional mengusahakan antara lain: “ Pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri”. Sedangkan ketetapan MPR-RI No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila menegaskan pula bahwa pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia,dan dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud bangsa manusia dan masyarakat yang dianggap baik, sumber dari segala sumber nilai yang menjadi pangkal serta mauara dari setiap keputusan dan tindakan dalam pendidikan dengan kata lain : Pancasila sebagai sumber system nilai dalam pendidikan.

P4 Atau Ekaprasetya Pancakarsa sebagai petunjuk operasional pengamalan pancasila dalam kehidupan sehari-hari,termasuk dalam bidang pendidikan. Perlu ditegaskan bahwa pengamalan Pancasila ituharuslah dalam arti keseluruhan dan keutuhan kelima sila dalam pancasila itu, sebagai yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,Persatuan Indonesia,Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Belum ada upaya mengopersionalkan Pancasila agar mudah diterapkan dalam kegiatan –kegiatan di masyarakat,termasuk penerapanya dalam dunia pendidikan Kalaupun ada bidang studi menyangkut moral Pancasila, sebagan besar diterapkan seperti melaksanakan bidang-bidang studi lain. Pendidik mengajarkannya,peserta didik berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan pendidik dalam ujian-ujian.
Sementara itu dunia pendidikan di Indonesia belum punya konsep atau teori-teori sendiri yang cocok dengan kondisi, kebiasaan atau budaya Indonesia tentang pengertian dan cara –cara mencapai tujuan pendidikan.Sebagian besar konsep atau teori pendidikan diimpor dari luar negeri sehingga belum tentu valid untuk diterapkan di Indonesia.

Teori-teori biasa didapat dengan cara belajar diluar negeri, atau dengan cara melakukan studi banding. Dan yang paling banyak dilakukan adalah dengan mendatangkan buku atau membeli buku dari Negara lain. Inilah sumber konsep pendidikan di Indonesia. Kalaupun ada usaha menyususn sendiri konsep pendidikan sebagian besar juga bersumber dari buku-buku ini. Begitu pula tentang konsep-konsep pendidikan yang ditatarkan dalam penataran-penataran pendidikan jugaBersumber dari buku-buku. Dengan demikian dapat diibaratkan membuat manusia Indonesia yang dicita-citakan seperti menerpa patung dengan cetakan luar negeri.hasilnya tentu tidak précis seperti manusia yang dicita-citakan, karena cetakan itu sendiri belum ada di Indonesia.


Sumber: Ahmadi, Rulam. 2014. Landasan Filsafat Dalam Pendidikan. (Tersedia online: http://www.infodiknas.com/landasan-filsafat-dalam-pendidikan.html, diakses pada tanggal 19 Desember 2016 jam 12.44)

Selasa, 06 Desember 2016

The ethical environment in the development of virtues & Virtues and situationist psychology


      Seseorang dapat diajarkan untuk berlatih berpikir tentang etika.
      Suatu konsekuensi dari tindakan atau kebijakan dalam etika di lingkungan bisa bersifat positif ataupun bersifat negative
      Kant berpendapat bahwa, penalaran moral tidak harus mengambil etika lingkungan. Menurut Kant, pendidikan moral merupakan sesuatu yang benar.
      Kebanyakan ahli teori kebajikan menekankan bahwa, jika seseorang mengembangkan suatu kebajikan sebagai disposisi dari karakter di usia dini, maka ia telah dibesarkan dengan kebiasaan yang benar.

Pentingnya etika lingkungan untuk nilai pendidikan :
      Etika lingkungan sekitarnya itu memberikan dukungan untuk apa yang pendidik sedang lakukan.
      Isi formal dari nilai pendidikan kemungkinan akan bervariasi dari satu masyarakat lain.

Etika Lingkungan Dalam Pengembangan Kebajikan
      Untuk mengembangkan kebajikan seseorang mungkin perlu dibesarkan untuk bertindak dengan semacam cara yang benar
      Satu fakta penting tentang kebajikan dan keburukan orang adalah, sekali diperoleh, mereka sangat mengakar
      Dalam memperoleh kebajikan, seseorang harus menjadi rentan terhadap etika atau lingkungannya.
      kebajikan tidak dapat diperoleh dalam waktu yang singkat, suatu kebajikan harus diperoleh selama periode panjang.

Kebajikan dan psikologi situasi
      Mengasumsikan sifat untuk menjelaskan mengapa setiap orang berperilaku dengan cara yang berbeda dalam situasi tertentu.
      Pendekatan situasi dalam psikologi sosial mempertanyakan sejauh mana perilaku individu dan terutama perbedaan antara perilaku salah satu orang dengan orang lain, dapat dijelaskan dengan ciri-ciri karakter dari setiap individu atau dari ada dan tidak adanya kebajikan.
Di akhir bab  dari buku ini akan menunjukkan dua cara berpikir tentang tugas pendidikan dalam kaitannya dengan nilai-nilai.
1.   Mengambil perspektif yang berkembang dari   masyarakat: itu melihat pendidikan sebagai salah satu cara dimana masyarakat dapat memgembangkan dan mempertahankan kualitas etika lingkungan.
      2.    Mengambil pandangan yang berkembang dari individu: itu melihat pendidikan sebagai salah   satu cara dimana dapat membantu seseorang untuk menemukan jalan mereka melalui kompleksitas etika lingkungan di sekitar mereka.


Sumber : Haydon, Graham. 2006. Education, Philosphy And The Ethical Environment. New York: Routledge

Tanggung Jawab Terhadap Nilai – Nilai Pendidikan



Tanggung jawab terhadap lingkungan etis didistribusikan secara luas, tidak hanya terbatas pada sekolah. Tetapi tentu saja sekolah berpengaruh besar terhadap pelaksanaan tanggung jawab dalam kemasyarakatan.

Individu dalam Lingkungan Etis
Semua pendidikan cenderung untuk mereproduksi, bahkan juga melakukan perubahan dalam lingkungan etis. Pendidikan formal dapat berkontribusi untuk berbagai tujuan sosial suatu masyarakat demokrasi yang aktif, masyarakat ekonomi yang sejahtera, dan sebagainya, hal ini membuat kontribusinya melalui pengaruh individu.
Jika suatu tujuan sosial adalah untuk mempertahankan lingkungan etis yang sehat, sekolah dapat membantu untuk mewujudkan tujuan itu dengan mempengaruhi bahwa individu belajar untuk berhubungan dengan lingkungan etis mereka. Salah satu cara untuk mendapatkan pemahaman tentang tugas-tugas nilai pendidikan adalah dengan melihat apa yang harus dilibatkan dalam memungkinkan individu untuk menemukan jalan mereka melalui lingkungan etis.
Beberapa berpendapat bahwa setiap nilai-nilai yang terkait dengan pendidikan seharusnya tidak dimandatkan oleh pemerintah: bahwa tempat untuk nilai-nilai pendidikan terdapat di dalam keluarga atau dalam agama.

Lingkungan Pilihan
Lingkungan etis yang kaya adalah sesuatu hal dimana karena ada banyak kemungkinan, ada banyak pilihan dan keputusan yang harus dibuat. Analisis masyarakat kontemporer yang mengeksplorasi konsumerisme, marketisasi dan akibatnya memperluas peran pilihan,
Diharapkan bagi sekolah untuk mengambil peran dalam mempersiapkan konsumen untuk menghadapi pilihan-pilihan dan memastikan orang muda menjadi sadar akan pilihan-pilihan bahwa mereka memiliki akses pengetahuan dan pemahaman yang relevan. 
Ini adalah gambaran kewarganegaraan yang sangat berbeda dari yang ditawarkan (meskipun mungkin tidak sering disadari) oleh konsepsi partisipatif demokrasi yang terlihat tidak pilihan pribadi tetapi untuk bermusyawarah menghasilkan keputusan bersama dengan semua yang dapat mengidentifikasi  (Fishkin dan Laslett 2003).
Bagi perorangan dihadapkan dengan pilihan konsumen diantara partai politik yang terdapat orde kedua dan pilihan yang kurang jelas. Pola-pola tertentu yang mungkin satu kali sudah diambil untuk diberikan sekarang ini untuk pilihan. Seorang komentator mengatakan:
            Semboyan besar dalam hidup keluarga Barat telah dibongkar: seks dan pernikahan yang digunakan untuk saling terkait - seperti halnya perkawinan dan anak-anak, seperti halnya heteroseksualitas dan pernikahan. Hubungan itu telah rusak dan orang-orang dapat berkumpul sedikit seperti yang mereka inginkan: nilai yang diberikan kepada otonomi perseorangan telah sangat meningkat dan akan terus tumbuh.
Bunting 2004: 6
Meskipun banyak orang tua mungkin berharap bahwa anak-anak mereka tidak tumbuh di kondisi seperti itu, berharap tidak akan merubah kondisi. Hal itu tidak menuntut bahwa lingkungan etis kita sekarang tak bisa diubah; sebaliknya telah dikemukakan disini. Tapi itu adalah untuk mengenali batas-batas pengaruh individu. Untuk memberikan anak pemahaman tentang berbagai peluang, pilihan dan risiko bahwa masyarakat mereka sebenarnya tersedia, dalam masalah relasi pribadi sebagaimana pada orang lain, akan gagal untuk mempersiapkan anak terhadap lingkungan mereka yang sebenarnya akan dimasuki.
 Beberapa anak muda mungkin membuat komitmen untuk tradisi orang tua; beberapa mungkin memilah, efektif hidup sebagai salah satu jenis orang yang di rumah dan satu lagi di sekolah atau dalam kehidupan sosial; beberapa mungkin mengelola semacam integrasi elemen berbeda (Waldron 1996).
Maksudnya disini, banyak anak muda sekarang yang tidak suka dihubung-hubungkan dengan tradisi zaman dahulu saat kedua orang tuanya masih muda. Anak muda zaman sekarang bahwa mereka mengaggap tradisi orang tuanya itu sudah kuno karena perkembangan semakin maju dan modern. Mereka memiliki pendiriannya masing-masing, itu semua diakibatkan dari faktor lingkungan sekitarnya.

Lingkungan Sekolah
            Kita lihat di Bab 1 bahwa kita bisa mengambil gagasan lingkungan sekolah atau lingkungan kelas sebagian merujuk fitur fisik dari lingkungan, sebagian untuk fitur sosial. Lingkungan sekolah memberikan banyak pengalaman terhadap siswanya.
1.      Bagaimana cara berperilaku terhadap orang lain.
·         berperilaku baik , beretika, dan bermoral terhadap orang yang ada di sekitar kita.
·         bersikap dan berperilaku ramah serta sopan santun terhadap orang asing atau orang yang baru saja kita kenal.
2.      Cara menanggapi sebuah perbedaan.
·         setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda
·         setiap orang memiliki agama yang berbeda, terutama di Indonesia ini banyak sekali agama yang  tersebar di Indonesia.  Setiap orang berhak memilih kepercayaannya  masing-masing.
Dengan itu lingkungan sekolah mengajarkan kita bagaimana cara menanggapi sebuah perbedaan yang ada di sekitar kita.
3.      Cara bekerja sama dalam berbagai tujuan.
·         bekerja sama di dalam mencapai suatu tujuan di dalam sebuah kelompok.
4.      Pentingnya nilai pendidikan di lingkungan sekolah.
4.
Sistem Sekolah
Hal yang  dapat menetentukan mutu sekolah tentu saja sekolah  itu sendiri. Kami telah mencatat sebuah gagasan bahwa sekolah mendapat pendidikan masyarakat di mana ada pembagian nilai bertanggung jawab untuk diwujudkan dengan cara yang berbeda di hal duniawi  atau mendasar kepercayaan sekolah.
·         Struktur sebuah sistem sekolah biasanya ditentukan pada tingkat kebijakan pemerintah.
Dalam beberapa masyarakat ada sebuah persepsi publik bahwa kepercayaan sekolah membuat lebih kuat kontribusi untuk nilai pendidikan.

Sumber: Haydon, Graham. 2006. Education, Philosphy And The Ethical Environment. New York: Routledge

Indoktrinisasi


Kadang-kadang metode yang disukai klarifikasi adalah untuk mencari definisi dari istilah yang akan memberikan kondisi yang diperlukan dan cukup untuk penggunaan yang benar. Salah satu istilah yang menerima pengobatan ini dalam sejumlah besar artikel (banyak dikumpulkan di Snook 1972) adalah 'indoktrinasi'. Tidak ada konsensus tentang arti dari istilah itu dicapai. Kita bisa melihat mengapa istilah sulit untuk mengikat turun dengan melihat sebentar di beberapa jawaban yang disarankan untuk pertanyaan: apa yang harus terjadi jika kita dapat benar untuk mengidentifikasi kasus indoktrinasi?
Salah satu kemungkinan adalah bahwa indoktrinasi harus melibatkan doktrin, di mana doktrin bukanlah keyakinan yang terisolasi tetapi sistem keyakinan yang memiliki bantalan pada bagaimana orang menjalani hidup mereka. Itu tidak akan masuk akal untuk menyarankan bahwa tidak ada yang dapat memegang doktrin tanpa diindoktrinasi, sehingga kriteria doktrin terlibat setidaknya harus dilengkapi dengan beberapa referensi untuk cara di mana itu diadakan atau bagaimana datang yang akan diadakan . Kami akan datang ke isu-isu dalam sekejap. Tetapi bahkan jika disepakati bahwa seseorang yang telah diindoktrinasi harus memegang doktrin dari beberapa macam, ada banyak ruang untuk sengketa apa jenis sistem kepercayaan akan dihitung sebagai sebuah doktrin.
Agama dapat memberikan kasus yang paling jelas (sebagian karena penganut agama kadang-kadang akan rela menggunakan istilah 'doktrin' untuk unsur-unsur keyakinan mereka sendiri), tetapi ada sistem kepercayaan lain yang statusnya sebagai doktrin dapat ditegaskan oleh beberapa dan diperdebatkan oleh orang lain.
Perhatian dari filsuf analitis pendidikan, ketika membahas indoktrinasi, sebagian besar telah difokuskan pada apa yang seorang individu (yang mengindoktrinasi seseorang) tidak, atau apa yang telah terjadi pada seorang individu yang telah diindoktrinasi. Seperti yang sering, kita dapat menemukan perspektif illuminatingly berbeda jika kita melihat sebaliknya di lingkungan. Itu adalah filsuf Hungaria pendidikan (Horvath 1991), menulis hanya sesaat setelah runtuhnya komunisme, yang mungkin pertama membawa fokus lingkungan ke dalam analisis filosofis indoktrinasi, melihatnya sebagai 'fenomena budaya' (1991: 57). Dia menulis:




Indoktrinasi efektif bila lingkup nilai-nilai, konsep dan maknaatau, secara umum, unsur-unsur wacana sosial menyempit.Ia bekerja ketika orang bertanya lebih sedikit dan lebih sedikit pertanyaan bukan karena itudilarang (yang akan penindasan agresif belaka) tetapi karenadaftar hal-hal yang dipertanyakan dibatasi. Semakin banyak hal dalam masyarakatdiambil untuk diberikan atau unalterably ditetapkan.
Horvath 1991: 55
                       
Dalam pertimbangan ini indoktrinasi kami telah datang berlaku untuk perbandingan dua jenis lingkungan etika. Dalam satu (seperti yang di Hungaria komunis dijelaskan oleh Horvath) kisaran wacana tentang nilai-nilai terbatas, tetapi sejauh orang terkurung dalam lingkungan yang mereka tidak menyadari betapa terbatas itu. Menariknya, Horvath menunjukkan bahwa di Hungaria tidak ada kata untuk 'indoktrinasi': ini sendiri akan membuat lebih sulit untuk me-mount jenis kritik yang Horvath (terbiasa filsafat Anglophone pendidikan) bisa membuat. Lingkungan etika lainnya dalam perbandingan adalah satu liberal, di mana banyak hal yang bisa dipertanyakan, di mana pendidikan untuk beberapa derajat mendorong pertanyaan, dan di mana gagasan indoktrinasi sebagai sesuatu yang harus dihindari itu sendiri menonjol. Dalam jenis yang terakhir indoktrinasi lingkungan (pada setiap interpretasi dalam kisaran yang ditunjukkan di atas) kurang mungkin terjadi, karena tiga alasan yang saling terkait. Pertama, di mana banyak hal yang bisa dipertanyakan, dan di mana setidaknya untuk beberapa pendidikan tingkat mendorong pertanyaan, lebih pertanyaan akan cenderung untuk pergi, dan orang-orang muda akan diinisiasi ke lingkungan di hal-hal yang dipertanyakan. Sehingga kurang mungkin bahwa mereka akan memahami apa yang mereka diberitahu atau bahkan apa yang paling lazim di lingkungan mereka secara tidak kritis. Kedua, di lingkungan seperti itu akan pada kenyataannya menjadi pluralitas sudut pandang, sehingga orang-orang muda hampir pasti akan menjadi sadar bahwa ada posisi alternatif untuk orang-orang di mana mereka telah dilantik; dengan kata lain, tidak hanya itu disposisi tertentu untuk mengajukan pertanyaan akan didorong secara abstrak, tetapi bahwa keberadaan beton alternatif akan hadir sendiri. Alasan ketiga menjadi relevan jika, meskipun faktor lingkungan yang lebih umum dari keberadaan alternatif dan dorongan dari pertanyaan, seseorang masih mencoba sengaja untuk mengindoktrinasi. Keberadaan dalam lingkungan seperti itu dari gagasan indoktrinasi sebagai sesuatu untuk waspada terhadap membuat kecil kemungkinan bahwa indoktrinasi yang disengaja (yang sifatnya akan harus agak diam-diam) akan terdeteksi.
Hasilnya sejauh ini adalah bahwa upaya pemerintah untuk membawa atau mempertahankan kualitas tertentu lingkungan etika perlu sekali tidak indoctrinatory jika jenis lingkungan harus didorong itu sendiri di mana banyak hal yang bisa dipertanyakan. Sebuah contoh konkret disediakan oleh karya Inggris Advisory Group tentang Kewarganegaraan yang disebutkan di atas. Tujuan dinyatakannya, seperti yang kita lihat, adalah untuk menghasilkan orang-orang yang akan menganggap diri mereka sebagai warga negara yang aktif, dan melanjutkan dengan mengatakan bahwa ini akan menjadi orang 'bersedia, mampu dan siap untuk memiliki pengaruh dalam kehidupan publik dan dengan kapasitas kritis untuk menimbang bukti sebelum berbicara dan bertindak '(Advisory Group on Kewarganegaraan 1998: 7).

Manipulasi
Dalam banyak kasus mungkin ada kebutuhan untuk debat publik untuk membangun konsensus di balik kebijakan baru untuk mempromosikan perubahan perilaku. Dalam masyarakat yang sangat individualistik, yang menempatkan premi tinggi pada otonomi pribadi, sangat penting bahwa ada pemahaman yang luas tentang perlunya setiap kebijakan yang berfokus pada perubahan perilaku. Jika tidak, mereka mungkin akan dilihat sebagai tidak sah - dan sebagai hasilnya kurang efektif.
Satuan Strategi Perdana Menteri 2004: 63
Jika menangkap ini kira-kira apa yang kita maksud dengan 'manipulasi', maka kita harus mempertimbangkan apakah kebijakan pemerintah yang bertujuan mempertahankan kualitas lingkungan etika melalui mempengaruhi individu bisa mencapai manipulasi. Kita mungkin bertanya, pertama, apakah individu yang bersangkutan akan atau cukup bisa memberikan persetujuan mereka dengan kebijakan jika mereka sepenuhnya dipahami itu. Masalah dengan hal ini dalam konteks politik praktis, seperti Brighouse (2004: 152) menjelaskan, adalah bahwa hal itu terlalu mudah bagi pemerintah untuk menyediakan sendiri argumen bahwa orang akan setuju jika mereka yang wajar dan sepenuhnya memahami kebijakan tersebut. Itu adalah bagian dari alasan mengapa politik liberal secara historis datang untuk dihubungkan dengan demokrasi, karena demokrasi menyediakan cara, apapun ketidaksempurnaan dalam praktek, memungkinkan sebenarnya daripada persetujuan hanya hipotetis untuk didaftarkan. Namun fakta bahwa pemerintah telah terpilih secara demokratis tidak menghapus kemungkinan persetujuan diproduksi, maka manipulasi. Jika pemerintah, mungkin melalui berbagai proses termasuk yang pendidikan, berhasil mengubah lingkungan etika dalam sedemikian rupa sehingga orang tidak menyadari bahwa perubahan telah dibawa oleh pemerintah, maka kita mungkin berpikir bahwa orang telah dimanipulasi. Mereka telah dibawa, mungkin dengan proses kentara bertahap, untuk pergi bersama dengan sesuatu yang mereka tidak mungkin telah menyetujui telah mereka sepenuhnya menyadari apa yang terjadi.

Otonomi
indoktrinasi dan manipulasi penting untuk mempromosikan otonomi dan kemungkinan keberhasilan dalam mempromosikan itu tergantung pada lingkungan etika sekitarnya. Raz berpendapat bahwa otonomi merupakan kondisi yang penting dari kehidupan yang baik. ‘Bagi mereka yang tinggal di lingkungan yang mendukung otonomi tidak ada pilihan selain menjadi otonom. Tidak ada cara lain untuk mencapai kesejahteraan dalam masyarakat(Raz 1986: 391).
Pendidikan harus mempromosikan otonomi, sebagai syarat kehidupan yang baik (lih Putih 1991). Tapi hal ini tidak begitu mudah dalam masyarakat plural. Ada tradisi di mana beberapa orang tua akan melampirkan begitu penting untuk anak-anak mereka tumbuh pemikir kritis sebagai otonom. orang tua tersebut, dan masyarakat yang mereka mengidentifikasi, mungkin berpikir bahwa promosi otonomi akan melemahkan komitmen yang kuat untuk kerangka tradisional keyakinan dan nilai-nilai yang mereka (orang tua) berusaha untuk menanamkan ke anak-anak mereka. (Gagasan otonomi sini sedang diambil untuk menunjukkan lebih dari tingkat kemandirian menuntut dalam masyarakat modern untuk melewati ujian, mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya, itu mengacu pada kapasitas yang lebih umum dan disposisi untuk berpikir kritis dan mempertanyakan).
Filsuf politik membahas masyarakat liberal dan plural terbagi pada apakah negara harus melalui pendidikan berusaha untuk mempromosikan otonomi. Menanggapi sejumlah filsuf yang berpendapat untuk autonomypromoting pendidikan (seperti Gutmann 1987), Brighouse berpendapat bahwa negara liberal harus melembagakan hanya pendidikan otonomi-memfasilitasi (Brighouse 2000: 65-82). Seperti pendidikan tidak akan mengajarkan otonomi yang merupakan kebajikan diinginkan dalam dirinya sendiri; bukan, itu akan mengajarkan 'otonomi terkait keterampilan' (Brighouse 2000: 69). Brighouse ini 'rekomendasi mendukung pengetahuan dan keterampilan lebih kebajikan' (2000: 80). Dia menjelaskan:


pendidikan tidak mencoba agar siswa menerapkan otonomi di kehidupan mereka sendiri, lebih dari pelajaran Latin yang bertujuan agar siswa menerapkan Latin dalam hidup mereka. Melainkan bertujuan agar mereka hidup mandiri jika mereka ingin.

Jika pendapat Brighouse adalah wajar, maka harus menghilangkan kekhawatiran dari setiap masyarakat yang mungkin lebih suka anak-anak mereka untuk tidak menjalani kehidupan mereka secara mandiri. Tapi ada masalah dengan interpretasi Brighouse otonomi. Pertama, guru yang baik cenderung untuk menyampaikan tingkat antusiasme untuk subjek mereka (latin, aljabar dll) dan karenanya rasa bahwa subjek layak dilakukan. sedangkan guru yang tidak memiliki antusiasme untuk subjek cenderung mengajar kurang baik, dan sebagian lagi karena siswa cenderung belajar bagaimana mengerjakan subjek jika mereka tidak datang sendiri untuk melihat objek tersebut bermanfaat, dan melakukannya dengan baik.
Kedua, Brighouse memberitahukan sifat otonomi dengan membandingkannya dengan mata pelajaran seperti bahasa Latin atau aljabar, yang tidak penting untuk semua orang dalam kehidupan modern. Sebuah analogi akan menjadi keterampilan dalam penggunaan bahasa utama dalam masyarakat, atau dalam aspek ilmu hitung berhitung. Pengajaran keterampilan ini umumnya  mencoba tidak hanya untuk memberi orang keterampilan yang mereka dapat gunakan jika mereka ingin.
Ketiga, untuk memperkuat inti-inti Raz, kerja keadilan dalam masyarakat modern, termasuk sistem peradilan pidana, mengandaikan bahwa orang tidak hanya mampu membuat keputusan sendiri tentang bagaimana berperilaku.

Demokrasi, keragaman dan pendidikan
Ada kemungkinan bagi pemerintah untuk campur tangan dalam lingkungan etika, dengan mengambil langkah-langkah untuk mengamankan atau mempertahankan semacam lingkungan tertentu, tanpa mengindoktrinasi, tanpa memanipulasi. Adapun apakah perspektif pemerintah pada kualitas lingkungan etika adalah untuk dipercaya. Tidak ada alasan yang baik untuk mempercayai keahlian etis atau kejujuran dari pemerintah hanya karena adalah pemerintah.
Dimungkinkan untuk menemukan standar yang bisa membatasi pemikiran pemerintah tentang apa jenis lingkungan etika yang diinginkan.


Sumber: Haydon, Graham. 2006. Education, Philosphy And The Ethical Environment. New York: Routledge

Bertanggung Jawab terhadap Etika Lingkungan part 2


Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia yang memberikan pengaruh besar dalam kelangsungan hidup manusia secara langsung maupun tidak langsung.
Sedangkan etika berkaitan dengan moral manusia atau pengembangan karakter moral pada diri setiap orang.
Jadi etika lingkungan merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan lingkungannya.
Berbicara mengenai tanggung jawab terhadap etika lingkungan, terdapat hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik yaitu sejauh mana tanggung jawab kita terhadap lingkungan yang ada. Terdapat dua pengertian dari kata bertanggung jawab yaitu:
1.      Secara kausal, manusia memiliki tanggung jawab besar terhadap perubahan yang terjadi pada lingkungan, manusia merupakan bagian dari lingkungan yang tidak bisa dipisahkan, karena lingkungan dapat menjadi sebuah penunjang kehidupan sehari-harinya, dan manusia dapat membawa perubahan terhadap lingkungannya, segala aktivitas yang dilakukan manusia akan berakibat pada lingkungan di masa depan. Lingkungan yang baik dapat terwujud apabila manusia itu sendiri dapat menjaga lingkungannya dengan baik.
2.      Secara moral, manusia adalah tanggung jawab. Mungkin kerusakan lingkungan terjadi  pada saat ini adalah akibat dari perilaku kita dalam memanfaatkan lingkungan yang tanpa batas dan etika. Dapat dikatakan kerusakan yang terjadi pada lingkungan berasal dari perilaku manusia yang tidak dapat memanfaatkan lingkungan dengan baik. Akibatnya terjadi pencemaran dan kerusakan alam yang akan menimbulkan permasalahan bagi kelangsungan hidup manusia sehari-hari, bahkan dapat mempengaruhi masa depan manusia yang akan datang.
Kita sebagai manusia yang tidak terpisahkan dengan lingkungan sehingga perlu menyayangi semua kehidupan dan lingkungannya selain dirinya sendiri. Kita mengetahui bahwa sangat pentingnya lingkungan untuk kelangsungan hidup kita, maka dari itu kita harus dapat menerima tanggung jawab moral untuk kualitas lingkungan hidup kita. Dalam menjaga kualitas lingkungan, dapat kita lakukan dengan cara memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas disekitar lingkungan untuk dijadikan sebagai barang yang lebih berguna, sehingga populasi sampah yang ada di lingkungan menjadi berkurang.
Namun dalam pengelolaan barang bekas akan lebih efektiif apabila didukung oleh beberapa pihak seperti halnya masyarakat sekitar pun harus ikut berkontribusi dalam kegiatan ini. Masih banyak lagi cara yang dapat dilakukan dalam menjaga lingkungan kita, misalnya dengan mengurangi polusi di lingkungan dengan membatasi merokok ditempat umum dan lain-lain, asalkan dilakukan secara kolektif tidak hanya dilakukan oleh satu atau dua orang saja.
Dalam menciptakan tanggung jawab terhadap etika lingkungan dapat kita terima dari lingkungan sekolah dimana sekolah dapat dijadikan sebagai sarana individu dalam mengambil pelajaran untuk lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan. Di sekolah dapat kita terapkan beberapa perilaku disiplin untuk menjaga lingkungan, misalnya dengan mendisplinkan untuk membuang sampah pada tempatnya.
Orang tua juga dapat memberikan pendidikan kepadada anak-anaknya untuk menjaga lingkungan sekitar. Dengan memberikan pemahaman untuk melestarikan lingkungan yang akan memberikan pengaruh yang baik apabila kita menjaganya.
Secara keseluruhan menciptakan lingkungan yang beretika adalah tugas semua masyarakat yang ada, semuanya memiliki tanggung jawab terhadap etika lingkungan yang ada. lingkungan hendaknya selalu dijaga pelestariannya, keseimbanganya, dan keindahan alam, sehingga perlu menyayangi semua kehidupan dan lingkungannya. karena Lingkungan disediakan bukan untuk manusia saja, melainkan juga untuk makhluk hidup lainnya.

Standar Untuk Mengevaluasi Lingkungan Etika
Menunjukan etika lingkungan yang sehat atau tidak sehat
lingkungan fisik menjadi tidak sehat bagi orang-orang, karena beberapa dari lingkungan yang tercemar, misalnya secara langsung kondusif untuk penyakit tertentu. Lingkungan etika kadang-kadang dapat diartikan sebagai tempat kontribusi tidak langsung bagi kesehatan fisik atau kesehatan yang buruk. Lebih lagi, lingkungan etika mungkin secara psikologis tidak sehat. Penilaian beberapa kondisi atau keadaan sehat atau tidak sehat tampaknya menyerukan pandangan tentang pengamat ahli; tapi perspektif individu itu sendiri juga harus diperhitungkan. Standar kesehatan perlu dukungan dan masukkan dari standar langsung inklusivitas, di mana yang diartikan, tidak (mustahil) bahwa semua pandangan pertama orde sama-sama menyadari, tapi itu semua orang bisa mengenali diri mereka sebagai berbagi dalam etika lingkungan Hidup.
Setiap lingkungan etika memiliki konsekuensi yang berbeda.  Penilaian tentang lingkungan etika yang sehat atau tidak sehat ini melibatkan penilaian dari pengamat ahli, juga melibatkan perspektif dari masing-masing individu. Mungkin terdapat orang-orang yang memiliki preferensi kuat yang ingin mereka kejar, sebagai akibatnya lingkungan dijadikan sebagai tempat penempatan berbagai kendala yang mereka hadapi. Bagaimanapun, konsekuensi dari pengoperasian lingkungan etika harus bermanfaat pada keseimbangan tiap individu, apa pun preferensi mereka, itu merupakan hal yang harus dipraktekkan.
lingkungan dari waktu ke waktu, terlalu rapuh. lingkungan etika membutuhkan tingkat keberlanjutan.Untuk memnuhi kriteria lingkungan etika yang baik, tentunya keberlanjutan tidak terjadi dengan sendirinya. Memang sejauh ini, lingkungan etika belum sempurna, tapi kita semua berharap lingkungan etika kita dapat menampung beberapa perubahan internal sehingga tidak terjadi keruntuhan dan kekacauan.
'Melestarikan' lingkungan etika dianggap penting. lingkungan itu tidak harus fleksibel, sehingga ia dapat menanggapi keadaan yang berubah, sementara itu ia juga tidak kehilangan apa yang paling sentral dan penting. Lingkungan etis yang dapat melakukan hal ini memiliki manfaat keberlanjutan.Keberlanjutan lingkungan etis dari waktu ke waktu mungkin tidak kausal independensi.

Pentingnya Keanekaragaman di Lingkungan Etika
Dalam kasus lingkungan alam ada berbagai alasan untuk mendukung keragaman, baik dari dasar, habitat atau spesies. Seperti yang kita ketahui, bahwa dunia mengandung banyak jenis keragaman berbeda dari dasar dan habitat. Yang paling menonjol yaitu keragaman budaya. Budaya yang dimaksud disini yaitu makanan atau seni. Di dunia ini ada banyak jenis makanan yang berbeda dan banyak tradisi yang berbeda, dan kesenian yang lebih menarik dan lebih kaya dari dunia monokultural adalah musik.
Berakar dari budaya ini, kita dapat menyatakan fakta bahwa orang-orang memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang bagaimana hidup, terutama karena pandangan tentang bagaimana hidup termasuk pandangan tentang bagaimana memperlakukan orang lain.

Terhadap Lingkungan Etis Satu Dimensi
Beberapa alasan untuk mencari dan mempertahankan keanekaragaman hayati di alam tidak ada hubungannya dengan estetika. Kita tahu bahwa pengurangan gen dan pengurangan kisaran habitat yang berbeda di dunia dapat membuat lingkungan alam kurang beradaptasi dengan perubahan masa depan yang kita sendiri tidak bisa memprediksinya secara rinci. Dalam kasus lingkungan etis, kita tidak bisa mengetahui secara detail apa tantangan etika kita yang mungkin dihadapi di masa depan. oleh karena itu, kita membutuhkan kekayaan sumber etis  untuk mengantisipasi hal tersebut.
Ingat pada kasus individu, dimana individu memerlukan aturan untuk menentukan mana yang benar dan salah. Tetapi sayangnya tidak ada jaminan atas hal tersebut. Meski aturan tersebut berharga, namun tidak bisa menjadi pengganti bagi individu mampu melakukan pemikiran mereka sendiri.
Hal serupa berlaku untuk kita bersama, jika kita mencoba untuk mengandalkan seperangkat gagasan etis. Misalnya ilustrasi masalah kontemporer kita dalam kaitannya dengan lingkungan alam. Banyak masyarakat modern mengandalkan terlalu lama pada ide dasarnya, bahwa sumber daya alam yang tersedia adalah untuk tujuan manusia tanpa batasan etika; sekarang kita lihat eksploitasi sumber daya tersebut telah membawa kita ke dalam masalah. Pada saat yang sama kita semakin menyadari bahwa sumber daya moralitas sulit untuk diterapkan pada hubungan kita dengan lingkungan alam.
Jika salah satu jenis sumber daya etis saja tidak cukup seperti yang kita tahu sekarang, tidak ada alasan untuk percaya diri bahwa satu-dimensi lingkungan etis bisa memberikan kami sumber daya untuk mengatasi masalah yang bahkan kami tidak mampu mengatasinya.


Sumber: Haydon, Graham. 2006. Education, Philosphy And The Ethical Environment. New York: Routledge